DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama
dakwah yang rahmatan lil'alamin. Aktivitas dakwahnya
menyeru manusia kepada hidayah Allah Swt dan mencegah dari yang mungkar. Setiap
muslim mempunyai kewajiban untuk menjalankan dakwah dimanapun ia berada sesuai
dengan kapasitas yang dimiliki. Baik dalam bentuk dakwah bil hal maupun dakwah bil
lisan. Namun demikian, walaupun dakwah menjadi tugas setiap muslim, untuk
mempermudah tujuan dakwah secara efektif dan efesien harus ada sekelompok orang
yang memperhatikan masalah ini secara serius dan profesional. Mereka ini adalah
para alim ulama, kyai, ustadz dan cendikiawan muslim yang dapat disebut dengan
da'i (orang yang menyeru).
Ketika Islam
bersentuhan dengan dunia modern, terutama menghadapi arus yang mengglobal. Ketika
itu pula permasalahan dakwah Islam semakin kompleks, dimana nilai-nilai agama
dan moral semakin ditinggalkan, liberalisme dan kapitalisme menjadi-jadi. Sehingga
lahirlah masyarakat yang hedonisme dan konsumerisme serta sifat-sifat lainnya.
Pengaruh ini sekaligus menjadi tantangan bagi penyeru agama/da'i untuk berpikir
dan bertindak lebih arif serta bijaksana, dalam menyampaikan pesan-pesan agama
kepada umat manusia.
Seorang
da'i, dituntut untuk menguasai ilrnu yang komprehensif dan tentu saja dibarengi
dengan akhlak yang mulia, karena sejatinya mutu dan penampilan da’i sangat
menentukan kelemahan dan kekuatan dalam berdakwah. Seorang da'i tidak hanya
pandai mengatakan sesuatu ini boleh dikerjakan dan yang lain haram dilaksanakan,
sementara dirinya sendiri belum mampu melaksanakan apa yang dia sampaikan, tetapi
hendaknya ia dapat melaksanakan dakwah dengan memulai dari dirinya sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PELAKU DAKWAH
Da’i
atau pelaku dakwah adalah seseorang yang menyampaikan dan mengajarkan Islam
serta berusaha untuk mewujudkan ajaran tersebut dalam kehidupan. Firman Allah
Swt:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا
وَنَذِيرًا
وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
Hai Nabi, Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama
Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (QS: Al-Ahzab
45-46).[1]
Dari
segi pesan atau materi yang disampaikan, pelaku dakwah sangatlah penting dan
mulia karena dia merupakan penyeru kepada Allah Swt serta mengantarkan manusia
kepada Ridha-Nya. Hal ini sebagaimana diungkap firman Allah Swt:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ
صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?" (QS Fushilat 33)[2]
Kemudian dari sudut pekerjaan, jelas merupakan pekerjaan paling
mulia karena menyeru kepada Allah adalah merupakan tugas dan pekerjaan para
nabi, para nabi adalah pribadi-pribadi yang agung dan mulia, maka tugasnya juga
sangat mulia.
B. KUALIFIKASI PENDAKWAH ATAU DA’I
Pendakwah adalah orang yang melakukan dakwah, ia
disebut juga da’i. Dalam ilmu komunikasi pendakwah adalah komunikator yaitu orang
yang menyampaikan pesan komunikasi (massage) kepada orang lain. Karena
dakwah bisa melalui tulisan, lisan, perbuatan. Maka
penulis keislaman, penceramah Islam, mubaligh, guru mengaji, pengelola panti
asuhan Islam dan sejenisnya termasuk pendakwah.
Pendakwah bisa bersifat individu ketika dakwah yang dilakukan secara perorangan
dan bisa juga kelompok atau kelembagaan ketika dakwah digerakkan oleh sebuah
kelompok atau organisasi. Dari segi keahlian yang dimiliki, Toto Tasmara
(1977:41-42)[3]
menyebutkan juga dua macam pendakwah :
1.
Secara
umum adalah setiap muslim yang mukalaf (sudah dewasa). Kewajiban dakwah
sudah melekat tak terpisahkan pada mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing
sebagai realisasi perintah Rasulullah untuk menyampaikan Islam kepada semua
orang walaupun hanya satu ayat.
2.
Secara
khusus adalah muslim yang telah mengambil spesialisasi (mutakhashish) di bidang
agama Islam, yaitu ulama dan sebagainya.
C. SIFAT DAN ADAB PELAKU DAKWAH
1.
Seorang
pelaku dakwah harus memiliki iman yang mendalam dan kuat, semakin kuat iman
seseorang maka akan semakin baik hasil dari dakwahnya, demikian juga semakin
lemah iman seseorang maka akan kurang baik juga hasil dari kegiatannya. Jadi
seorang juru dakwah harus meyakini akan pentingnya kegiatan dakwah serta
sebagai tugas pokok kehidupannya, artinya tidak memandangnya sebagai kegiatan
sampingan. Sebuah keyakinan yang merupakan cerminan dari kekuatan imannya
terhadap kebenaran isi dari yang ia serukan.
2.
Memiliki
hubungan yang kuat dengan Allah Swt karena ia akan menyeru kepada-Nya, kepada
jalan dan menuju ridha-Nya. Sehingga dengan hubungan yang
kuat itu memungkinkan untuk selalu memohon bimbingan dan pertolongan dalam
menjalankan dakwahnya. Kekuatan hubungan tersebut tercermin dalam
kehikhlasannya dalam menjalankan dakwah, tidak mencampur adukan antara tugas
dakwah dengan kasab atau mencari rizqi. Selain itu hubungan yang kuat juga
tercermin dalam kecintaannya terhadap Allah Swt.
3.
Memiliki
ilmu yang mendalam tentang materi yang akan dia sampaikan sehingga memungkinkan
baginya untuk menjelaskan dan menerangkan kebenaran ilahiyah tersebut tanpa
ragu.
4.
Melaksanakan
ilmu yang dia ketahuinya dan istiqamah dalam perilaku
kesehariannya. Adalah tidak mungkin seseorang menyampaikan suatu yang ia
sendiri tidak mengamalkannya.
5.
Memiliki
kesadaran yang sempurna, sadar akan hal-hal yang mungkin ditemuinya dalam
berdakwah, menyadari juga kondisi sasaran dakwah atau orang yang ada di
sekelilingnya, serta menyadari juga akan dirinya serta kondisi sikap dan
mentalnya sebagai da’i.
6.
Bijak
dalam memilih metode dan cara-cara berdakwah. Ada empat cara yaitu:
a.
Metode
hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dengan demikian berarti
mencakup semua teknik dakwah.
b.
Metode
nasihat adalah perkataan yang jelas dengan lemah lembut.
c.
Metode
berdebat adalah Berdebat menurut bahasa berarti berdiskusi atau beradu argumen.
Disini berarti berusaha untuk menaklukkan lawan bicara sehingga seakan ada
perlawanan yang sangat kuat terhadap lawan bicara serta usaha untuk
mempertahankan argumen dengan gigih. Secara epistimologis berdebat sebagaimana
didefinisikan para ulama adalah sebagai berikut: Usaha yang dilakukan seseorang
dalam pmempertahankan argumennya dalam menghadapi lawan bicaranya. Diartikan
juga sebagai cara yang berhubungan dengan pengukuhan pendapat atau mazhab. Bisa
juga sebagai usaha membandingkan berbagai dalil untuk mencari yang paling
tepat.
d.
Metode
keteladanan adalah Menurut bahasa qudwah berarti uswah yang dalam bahasa
Indonesianya berarti keteladanan atau contoh. Menteladani atau mencontoh sama
dengan mengikuti suatu pekerjaan yang dilakukan sebagaimana adanya.
7.
Berakhlak
mulia, ini adalah modal sekaligus menjadi kepribadian seorang muslim, akhlak
mulia akan menarik simpati dan menimbulkan kesan baik terhadap pelakunya. Jika
kesan baik telah tercipta maka yang akan muncul adalah kepercayaan dari
masyarakat yang mengenalnya, kemudian akan memudahkan proses berdakwah.
8.
Husnudzan
sesama muslim, artinya mendahulukan sikap baik sangka dari pada mencurigai
sesama atau suudzan terhadap masyarakat sebagai sasaran dakwah. Sikap tersebut
akan sangat membantu dalam menjalin hubungan dengan sasaran, selain akan sangat
membantu juga dalam memilih materi dan tehnik menyampaikan materi dakwah.
Karena penilaian (atribusi) terhadap halayak sasaran akan memengaruhi
persiapan-persiapan dalam berdakwah.
9.
Menutupi
aib sesama muslim, sebagaiamana diketahui bahwa ajaran islam sangat menghargai
harga diri seseorang, dalam berbagai anjuran, Rasulullah Saw
menyatakan bahwa orang yang menutupi aib orang lain maka Allah akan menutupi
aibnya nanti di hari kiamat.
10.
Bergaul
dengan sesama muslim, dalam arti bermasyarakat sebagaimana layaknya anggota
masyarakat yang lain. Tidak memilih hidup menyendiri. Seorang mu’min yang aktif
bergaul dengan sesama dan sabar atas penderitaan karena pergaulan lebih baik
dari pada mu’min yang menyendiri dan tidak sabar terhadap derita karena
bermasyarakat.
11.
Mengunjungi
tempat tinggal sesama dan mengenal kedudukan sosial mereka. Seorang da’i harus
mengenal kondisi sosial masyarakat yang akan diserunya, untuk itu ia harus
rajin bersosialisasi dengan mereka, menjalin silaturahmi, mengenal status,
kedudukan dan peran masing-masing mereka dalam kehidupan sosialnya. Pengenalan
terhadap kondisi sosial akan menjadi bekal bagi da’i dalam menjalankan
tugasnya. Dari situ akan ditemukan berbagai informasi untuk kemudian dijadikan
bahan dalam melakukan pembinaan. Sisi mana yang harus diperbaiki terlebih
dahulu dan sisi mana yang bisa dibina kemudian.
12.
Bekerja
sama dengan sesama da’i, semua pelaku dakwah memiliki tujuan yang sama yakni
menyeru ummat manusia ke jalan Allah Swt. Maka kerjasama antara sesama juru
dakwah diperlukan untuk bisa membahas persoalan-persoalan yang ditemui dalam
dakwah. Hal ini juga untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dan
pertentangan antara sesama da’i.[4]
D. POTENSI DA’I
Potensi da'i adalah apa yang ada
pada diri seorang da'i yang dapat digali dan dikembangkan, baik itu kelemahan (weakness),
kelebihan/ kekuatan (strength), peluang (opportunity) dan
tantangan (threat) yang melekat pada diri seorang da'i.
Kelebihan/kekuatan adalah merupakan keunggulan seseorang dibandingkan dengan
orang lain atau kemampuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak dapat
dilakukan orang lain, yang dapat diibaratkan dengan selangkah lebih maju dari
garis start (to having a beadstart in a foot race). Kelebihan seorang
da'i dapat berupa kedalaman ilmu, penguasaan materi, penguasaan retorika,
penampilan menarik, kefasihan dalam membawakan ayat-ayat Allah, dan lain
sebagainya.
Kelemahan dapat didefinisikan sebagai keterbatasan atau kekurangan
seseorang dalam berdakwah. Kelemahan ini dapat berupa kurang dapat menguasai
emosi, demam panggung (nervous), tergesa-gesa, keterbatasan transportasi,
penguasaan ilmu yang kurang dan lainnya.
Peluang adalah upaya terus menerus untuk mengubah potensi kelemahan
(weakness) menjadi potensi kekuatan (Strength), peluang ini dapat
berupa adanya kesempatan untuk memperdalam ilmu atau belajar kembali atau
adanya pelatihan-pelatihan, adanya kesempatan/kepercayaan yang diberikan
masyarakat untuk menyampaikan dakwah, dan lain sebagainya.
Sementara tantangan adalah kecenderungan (lingkungan) yang tidak
menguntungkan, tantangan ini dapat berupa adanya perubahan pola pikir
masyarakat, kemajuan teknologi yang semakin cepat, dan berbagai permasalahan
masyarakat yang semakin kompleks sehingga memerlukan solusi yang tidak
sederhana.
Dari potensi-potensi inilah seorang da'i dapat menentukan strategi
yang akan diambil dalam menanggulangi kelemahan dan tantangan yang dia rasakan
dalam berdakwah.[5]
E. KOMPETENSI DA’I
Berhasil tidaknya gerakan dakwah
sangat ditentukan oleh kompetensi seorang da’i, yang dimaksud dengan
kompetensi da’i adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan, dan perilaku
serta keterampilan yang harus dimiliki oleh para da’i, baik kompetensi
substantif maupun kompetensi metodologis :
1.
Kompetensi Substantif :
a.
Memahami
agama Islam secara komperhensif, tepat dan benar.
b.
Memiliki
akhlak yang baik (al-akhlaq al-kariimah),
seorang pribadi yang menyampaikan ajaran yang mulia, dan mengajak orang
menuju kemuliaan, tentulah seorang da’i
memiliki akhlaq mulia yang
terlihat dalam seluruh aspek kehidupannya. Seorang da’i harus memiliki sifat
shiddiq, amanah, sabar, tawaddhu’, adil, lemah lembut, selalu ingin
meningkatkan kualitas ibadahnya dan sifat-sifat mulia lainnya.
c.
Mengetahui
perkembangan ilmu pengetahuan yang relatif luas, yang dimaksud dengan
pengetahuan di sini adalah cakupan ilmu pengetahuan yang paling tidak terkait
dengan pelaksanaan dakwah, antara lain, ilmu bahasa, ilmu komunikasi, ilmu
sosiologi, psikologi dakwah, teknologi informasi baik cetak maupun elektronik,
ilmu patologi sosial dll.
d.
Memahami
hakikat dakwah. Hakikat dakwah pada dasarnya adalah mengadakan perubahan sesuai
dengan Alquran dan Al-Hadits, artinya perubahan yang bersifat normatif, sebagai
contoh : Perubahan dari kebodohan kepada kepintaran, perubahan dari keimanan
atau keyakinan yang batil kepada keyakinan yang benar, dari tidak faham agama
Islam menjadi faham Islam, dari tidak mengamalkan Islam menjadi mengamalkan
ajaran Islam, dan Allah tidak akan memberi petunjuk dan kemudahan kepada
manusia untuk dapat berubah kecuali kalau manusia berjuang dengan ikhlas, tekad
yang kuat dan ikhtiar yang maksimal.
e.
Mencintai
objek dakwah (mad’u) dengan tulus, mencintai mad’u merupakan salah satu modal
dasar bagi seorang da’i dalam berdakwah,
rasa cinta dan kasih sayang terhadap mad’u akan membawa ketenangan dalam
berdakwah. Seorang da’i harus menyadari bahwa objek dakwah adalah saudara yang
harus dicintai, diselamatkan dan disayangi dalam keadaan apapun, walaupun dalam
keadaan objek dakwah menolak pesan yang disampaikan atau meremehkan bahkan membeci.
f.
Mengenal
kondisi lingkungan dengan baik. Da’i harus memahami latar belakang kondisi sosial,
ekonomi, pendidikan, budaya dan berbagai dimensi problematika objek dakwah,
paling tidak mendapat gambaran selintas tentang kondisi mad’u secara umum, agar
pesan dakwah komunikatif atau sesuai dengan kebutuhan mad’u.
g.
Memiliki
kejujuran dan rasa ikhlas, karena keihklasan dan kejujuran merupkan faktor yang
sangat prinsip, dan menentukan diterimanya amal ibadah oleh Allah Swt, dan
aktifitas dakwah yang dilaksanakan secara ikhlas akan selalu mendapat
pertolongan dari Allah Swt.
2.
Kompetensi Metodologis :
a.
Da’i
atau pendakwah harus mampu mengidentifikasi
permasalahan dakwah yang dihadapi, yaitu mampu
mendiagnosis dan menemukan kondisi objektif permasalahan yang dihadapi oleh
objek dakwah.
b.
Da’i
atau pendakwah harus mampu mencari dan mendapatkan informasi mengenai ciri-ciri
objek-objek dakwah serta kondisi lingkungannya.
c.
Berdasarkan
informasi yang diperoleh dengan kemampuan pertama dan kedua di atas seorang
da’i akan mampu menyusun langkah-langkah perencanaan bagi kegiatan dakwah yang
dilakukannya.
d.
Berkemampuan
untuk merealisasikan perencanaan tersebut dalam melaksanakan kegiatan dakwah.[6]
BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
1.
Menjadi seorang
pendakwah atau da’i merupakan kewajiban setiap umat islam karena di dalamnya
terdapat banyak kebaikan-kebaikan yang diperoleh, diantaranya meneruskan
perjuangan Rasulullah, menyeru manusia
kepada hidayah Allah Swt dan mencegah dari yang mungkar dan juga merupakan pekerjaan yang mulia.
2.
Menjadi seorang pendakwah atau da’i juga
harus ditunjang dengan ilmu pengetahuan yang luas, mampu memahami kondisi dan
mempunyai sifat dan perilaku yang baik karena setiap perkataan dan tindakan
akan selalu dijadikan cerminan oleh mad’unya.
3.
Di dunia yang sudah mengglobal saat ini
menjadi seorang pendakwah atau da’i harus terbuka dengan realita yang ada,
harus bisa menguasai kemajuan teknologi yang begitu pesat, sikap dan perilaku manusia
berkembang terus menerus.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dakwah
Era Digital Seri Komunikasi Islam Dr. M. Tata Taufik
2.
Ilmu
Dakwah Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag
3.
http://digilib.uin-suka.ac.id/8363/1/SITIJUTAIHA%20SELF%20MANAGEMENT%20OPTIMALKAN%20POTENSI%20DA%27I.pdf
4.
http://pusat-akademik.blogspot.com/2008/09/fiqih-dakwah-pendekatan-tafsir-tematik.html
+ komentar + 2 komentar
OK Pak, bagus sbg langkah awal. Silakan dikembangkan lagi ya
izin copy
Posting Komentar